Ekspresi Jabatan

Di satu kota online, gua menemukan satu hal yang cukup menjengkelkan. Cukup, untuk membuat secangkir kopi biasa saja menjadi hangat kembali. Saat itu gua mencoba untuk memblenderi diri di kota dengan semiliar ekspresi postingan yang menurut mereka ironis/orang lain laik untuk tahu. Atau sesuatu yang sengaja disembunyikan, seperti meningkatkan jumlah pengikut juga bentuk mempopulerkan diri dengan beragam cara. Entah fisik maupun psikis. Melihat keberagaman ini, membuat gua ingin menyajikan kue tart di atas kolam renang. 


Ribet


Beberapa hal membuat gua menyadari bahwa 'psikopat', memang bukan bicara soal bunuh-membunuh secara fisik saja. Betul akan terlihat aneh jika film-film yang kita tonton diselipi kosakata disertai artinya, dengan maksud mengedukasi betul masyarakat inti yang ingin disampaikan dari film tersebut. Tidak jauh, aktualisasi diri. Hal yang sangat melekat pada diri manusia dan merupakan kebutuhan tertinggi sesuai piramida Maslow. Ditambah kebutuhan yang tidak akan pernah tercukupi disamping pemenuh kebutuhan yang tak mencukupi. Memungkinkan individu melakukan cara-cara yang bahkan disadari mampu meretakkan seseorang.


Proses blender yang panjang, mendapati diri gua bersama konklusi yang cukup menyakitkan. Kesan awal yang terlihat indah, hancur dengan segala pukulan berbagai arah setelah beberapa lama membentuk aksi. Bahkan dengan pondasi pergaulan seperti tidak bisa dikatakan pondasi. Identitas palsu yang juga dibentuk secara sadar sehingga mampu membohongi satu kota terus dan menerus. Dengan alasan menghindarkan diri dari bahaya, namun terasas pada rangkaian iblis nafsu. Kata 'permainan' mau dan mampu dikreasikan, bahkan sampai rela mengacak-acak diri hingga tak tahu lagi urutan yang benar. Berusaha terlihat 'memukau' di kota agar kebutuhan aktualisasi terealisasi.


Kekerasan psikis mudah merajalela tak terkecuali bagi mereka yang telah memiliki 'jabatan'. Seperti lingkaran, tidak pernah habis biarpun digigit zaman. Juga tak memandang jumlah penduduk satu dan yang lain. Melihat celah melapisinya dengan kans, lalu suatu hari kembali dengan beragam alasan klasik dengan maksud memenuhi piramida aktualisasi. Seperti film horror yang telah ditonton beberapa waktu lalu; menghidupi diri di kota kelahiran seperti tidak pernah 'melakukan' apa-apa di kota kejadian. Legalitas satu setengah kepribadian, di sisi kesempatan ekspresi posisi.



N.D.H.

P.s: Hati-hati, dan persiapkan diri betul sebelum memasuki kota tertentu.
Amani diri dan semestamu.
Degup hasrat, di mana jantungku mengalami transplantasi dengan hasrat.
Hasrat untuk menyelesaikan skripsiku. Penelitian dengan kuesioner dan masalah sampel yang belum juga mantap.
Hasrat untuk berhenti berlari. Berhenti menggunakan mimikri agar menjadi yang orang lain inginkan.
Berhenti untuk mencari pergaulan yang original. Yang kualitasnya tidak main-main.


Hasrat, di mana segalanya dapat berlabuh.
Begitu juga kelelahan saya. Kebosanan saya.
Dampak yang tiba di ujung yang entah apa namanya.
Yang entah sudah berapa lama menyiapkan dirinya.
Untuk saya.


Hasrat tidak pernah mengambil jam istirahat.
Dentingannya memecahkan gendang telinga,
posenya menyakitkan pandangan.
Berperan di atas panggung hasrat,
bahkan di saat penonton belum tiba.
Seperti penulis yang bersikeras memikirkan jalur cerita selanjutnya.
Atau tugas guru membuat satu anak mengerti segala materi pelajaran.


Segala sifat itu..
benar-benar berhasil.
Piala hasrat diletakkan di depan rumah
agar semua orang dapat melihat.


Hasrat, dengan atau tanpa kasta.
Racun ampuh.
Entah untuk menyembuhkan atau memperparah.
Sungguh potongan-potongan yang ajaib.
Namun berantakan.



Nanda Dega H.








Calon Masak



Tahu bakal ada program magang tiba-tiba. Gua langsung deg-degan. Khawatir. Bingung. "Ugh.. kenapa harus ada beginian sih?!" Gua yang setelah itu berunding dengan diri gua sendiri, makin dibuat pusing. Gua yang ga tau apa-apa soal magang ditambah ngebahas hal itu dengan diri gua sendiri. Semua panik. Sampai-sampai bulu kuduk guapun ikut panik.


Sebagai seseorang yang memiliki sisi introvert, mendengar sesuatu yang tidak mengikutsertakan gua dalam perundingan akan sangat menyengat hati dan pikiran gua. Ngomel bentar, habis itu diberi waktu untuk berfikir. Namun sisi ekstrovert langsung pergi ke tengah panggung dan bilang ke semua saraf tubuh gua untuk jangan takut; "Berbaur itu seindah melukis kuda poni di atas cupcake dan sejenisnya." Mereka masing-masing memiliki jumlah trofi yang sama sampai sekarang. Hanya unggul di situasi tertentu, tidak berlaku selamanya secara kontinuitas.


Menyambung soal magang, akhirnya gua berbaur dengan rekan-rekan sekelas yang juga tengah dibuat pusing olehnya. Diskusi-diskusi pusing itu akhirnya membawa gua pada sesuatu yang namanya referensi. Gua sedikitnya tahu apa yang harus gua lakukan. Singkat cerita sampai pada pembuatan surat izin magang. Semuanya repot. Tak apa selama bukan gua doang yang repot. Kau tahu, repot yang sebenarnya bisa diselesaikan bersama. Repot sebagai tanggung jawab pribadi lain nilai. Empat buah amplop dengan masing-masing perusahaan tujuan yang berbeda, dengan maksud jaga-jaga sekaligus menghilangkan kata repot dalam 'papan tulis harian'.


Hingga suatu saat, semua surat itu tertumpuk dalam lemari gua di bagian paling atas sebelah kanan. Gua selipkan di antara buku bergambar kosong dan kertas-kertas lainnya. Salah satu rekan gua, Dessy Luckyana melakukan tindak ajak berawal dari kantor pemerintah di Jakarta Selatan. Sampailah kami di deretan gedung kementerian di Jakarta Pusat kemudian. Mencari satu persatu lowongan magang bagi pelajar, seperti penjaja coklat yang hilang harapan karena coklat yang dijajakan belum juga habis. Lalu sampailah di suatu kementerian, dengan hasil 1-0 bagi gua dan Dessy.


Hari-hari setelah petualangan di kementerian terakhir itu, gua benar-benar dibuat gundah. Dari jarak, transportasi, sampai biaya yang akan dikeluarkan jika gua melakukan magang di sana. Biarpun sampai di titik di mana surat izin untuk itu berhasil, namun masih ada sekelebat ketakutan dibenak. "Apa harus gua menghabiskan uang orang tua sebesar itu?" Bertarung dengan diri sendiri sangat tidak mengenakkan, biarpun kau suatu waktu memiliki kendali penuh untuk berkuasa. Namun akan lain jika sebelumnya kau memiliki kriteria-kriteria hidup yang telah kau catat pada tiap saraf dalam tubuhmu. Sangat melelahkan, lebih dari seorang pelari maraton di Hari Minggu. Lalu kudicerahkan oleh Yang Kuasa akan alternatif perjalanan dan orang yang ahli di dekat gua. Gua hitung, menghitung, dan memperhitungkan. Sampai akhirnya gua bermuara dengan mantaptidak begitu mantapdan menguatkan konsistensi gua untuk melakukan magang di kementerian tersebut.


Perekrutan tiba-tiba oleh karyawan yang bersangkutan kepada gua sampai (mungkin) kesalahpahaman-kesalahpahaman yang sempat terjadi disekeliling gua. Namun gua sudah ditempatkan di sanayang mana semua tidak ada yang terjadi secara kebetulan, membuat gua untuk terus bertahan dengan kondisi lingkungan tanpa mempertahankan gua. Sesaat, pada akhirnya. Matahari bangkit tiap pagi. Begitu seharusnya. Bangkit tanpa khawatir cercaan, dan sebagainya. Karena sudah ditempatkan di deskjob seperti itu. Sampai hari ini.


Minggu tiap minggu gugur. Dua bulan sebagai waktu yang dianggap valid karena data-data mendukung yang terkumpul. Bahkan gua harus menyaksikan pertukaran direktur yang membuat orang-orang pertama menjadi terakhir bahkan hampir tidak kelihatan. Begitu juga tugas yang diberikan. Sisi ekstrovert gua semakin menjadi. Dia membutuhkan sesuatu yang lebih, terus biarpun tidak ada yang memberikan. Layaknya persembahan, namun dalam bentuk tugas.


Lalu tiba hari di mana gua harus berpapasan secara terakhir dengan seluruh karyawan di ruangan tersebut. Tempat gua sempat pusing dengan atau tanpanya tugas, atau orang-orang dewasa yang terpaksa bergaul dengan remaja-remaja yang dihauskan akan laporan magang dan susunan skripsi. Kembali deg-degan, namun ini lebih dari pertama gua tahu hadirnya program magang di program studi yang gua geluti. Degup khawatir. Khawatir ga bisa lihat canda versi orang-orang seperti mereka. Apalagi the way some laugh. Saat tiba pada target pertama, gua hampir dibuat cengeng karena intonasinya yang terdengar menyedihkan. Seperti bumbu perpisahan benar-benar kental dalam diri gua. Betul menyakitkan. Hal-hal eksentrik yang gua suka harus tertahan di sana. Ga bisa gua bawa pulang secara objek.


Yang kemudian kembali kepada mereka yang awal-awal. Gua harus menuju lantai 3 dan ketika memasuki ruangan, semua ada di sana. Benar-benar diberikan kesempatan untuk berpamitan. Gua sangat bingung ketika mengatakan bahwa itu adalah hari terakhir magang. Yang bisa gua lakukan adalah menunduk dan berbicara. Si ekstrovert entah kenapa tidak melakukan tugasnya secara penuh. Namun bagaimana lagi, itu adalah tanggung jawab dan kontrak yang harus disepakati, baik di awal maupun di akhir hari.


Tidak ada alasan pasti lagi jika gua ingin ke sana, selain menuntut terjadinya lembar sertifikat. Lebih dulu magang, lebih dulu selesai magang. Memiliki waktu kosong dalam hitungan bulan sampai hari Ujian Akhir Semester hingga memasuki semester di mana huruf-huruf lebih penting ketimbang lembar-lembar kertas yang terbuang, yang sifatnya hanya memuaskan kemudahan atau alasan-alasan lainnya.


Selesai, tapi hanya sampai di situ. Masih banyak buku kosong yang harus diisi, sebagai riwayat yang akan ditabur bagi lahan-lahan muda di era-era asing yang ada di depan. Iya, di depan sana. Kau akan dibuat sadar nantinya.





Nanda Dega,
Ilmu Komunikasi,
di kolom yang hampir akhir.


Pusa

Dia s'lama ini memerhatikan saya.
Iya. Mata dan kelopaknya selalu bersikeras menangkap memori tentang saya.
Dia tahu saya tengah menghadapi pusaran hasrat.
Dan saya terburu-buru ingin menggapainya.


Mereka masih belum yakin. Beberapa yakin di dalam ketidakyakinan mereka sendiri.
Saya sudah berusaha diam, tapi mereka terus menggoda saya.
Atau saatnya saya pancing karena merasa bosan.
Cara yang salah menuju tujuan yang (dirasa) benar.


Saya semakin lelah karena latihan yang belum juga mencapai kolom akhir.
Padahal sudah melakukannya di luar lingkaran pelindung.
Saya sadar cara yang salah, tapi bodohnya terus mencoba.
Untuk mendapat centang di satu tugas di kategori sosial.
Kar'na sempat menyandang kekalahan di zaman dulu.


Sudah terlalu banyak berfikir.
Makanya jadi pandai mengira.
Mendapat persepsi buruk,
mencari persepsi yang baik.
Untuk bertahan hidup.


Hingga akhirnya hasrat saya dipuaskan secara kreatif.
Di rute yang tidak saya sadari. Juga waktu.
Aku selalu dibela. Walaupun sering memakai 'teori sejak lahir' itu.
Dan soal ini s'lalu terjadi bahkan pada kita semua.


Kenapa selalu mencari, padahal sudah di depan hidung?


Termenung sebentar.
Lalu berdoa agar tidak terlalu masuk,
ke dalam kategori.
 

N. Dega―